PERBANDINGAN SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA | PERBANDINGAN SISTEM BUDAYA INDONESIA PADA JAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Perbandingan sistem sosial budaya di indonesia . Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam budaya, adat istiadat, suku,
ras, agama atau kepercayaan, etnis, dan juga bahasa. Pada saat zaman penjajahan
Belanda di Indonesia, keberagaman dalam berbagai hal tersebut sering disebut
bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Masyarakat Indonesia memiliki
struktur, struktur tersebut ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara
horisontal ditandai oleh kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku,
agama daerah, adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan daerah merupakan ciri
dari masyarakat Indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk.
Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa
hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari
masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak
bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda
merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan
agama. Hal semacam ini menimbulkan berbagai macam hal yang nantinya akan
mempengaruhi rasa nasionalisme dari masing-masing elemen masyarakatnya dan
dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam
menemukan pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh
elemen masyarakat (common social demand). Apabila dalam kebutuhan
ekonominya saja tidak ada kehendak bersama maka bisa diprediksi bahwa nantinya
kehidupan ekonomi di negara Indonesia akan semakin melemah ketika tidak adanya
kebijakan yang mengatur masalah ekonomi tersebut.
Kebutuhan-kebutuhan
keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata semua kebutuhan kultural yang
memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir
hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand
sebagai keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, permintaan
masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melainkan bersifat seksional
(sectional) dan tidak dihayati bersama elemen masyarakat. Sehingga permintaan
yang terus menerus seperti itu lama kelamaan akan mengakibatkan keadaan ekonomi
yang tidak seimbang antara jumlah barang yang di inginkan dengan jumlah barang
yang tersedia.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama
oleh semua elemen masyarakat mejadi sumber yang membedakan karakter daripada
ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat
majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat
yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah
jauh berbeda dari keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat
majemuk sebagaimana digambarkan oleh furnivall harus tidak dapat begitu saja
diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang yang jauh
lebih menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Furnivall menyatakan bahwa suatu masyarakat dimana sistem
nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya
sehingga para angota masyarakat kurang memiliki loyalitas atau kesetiaan terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang memiliki homogenitas atau bahkan
kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain antar elemen
masyarakat.
Clifford Geertz, menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah
masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem yang kurang lebih berdiri
sendiri-sendiri dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan yang
bersifat primordial. Yaitu menganggap bahwa suku, agama, adat mereka
merupakan yang memiliki kasta paling tinggi dan diagung-agungkan di bandingkan
dengan suku, adat dan agama elemen masyarakat lain.
Piere L,van den Berge menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk :
a. Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan
yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat non-komplementer
c. Kurang
mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar.
d. Secara
relatif sering kali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain.
e. Secara
relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coection) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f. Adanya
dominasi pilitik oleh semua kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Oleh karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat
disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat
segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakandengan masyarakat yang
terdiferensiasi atau spesialisasi. Maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
yang bersifat majemuk pada jaman penjajahan Belanda.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pluralitas masyarakat
indonesia :
a. Keadaan
geografis yang membagi wilayah Indonesia dengan berbagai pulau.
b. Indonesia
terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik.
c. Perbedaan
iklim dan struktur tanah di kepulauan Nusantara.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional
merupakan dimensi-dimensi horisontal dari struktur masyarakat Indonesia.
Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia dari waktu ke
waktu dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial
berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri. Karena sesungguhnya masyarakat majemuk adalah
masyarakat yang terpisah – pisah berdasarkan kelas sosial, suku, agama, ras dan
antar golongan.
Prof Wasino menyatakan bahwa Pada jaman setelah kemerdekaan
Indonesia masyarakat majemuk masih terus berlangsung. Berakhirnya orde baru
telah membuka kotak Pandora buruknya hubungan antar etnik dan antar agama. Akibatnya
banyak terjadi konflik-konflik yang berdasarkan perbedaan etnik dan agama. Hal
itu semakin meruncing ketika kepentingan-kepentingan politik masuk. Proses
reformasi politik melahirkan kesadaran baru tentang hubungan antar etnik dan
agama. Titik awal perubahan ini ketika presiden Abdurahman Wahid membuka
sekat-sekat hubungan multikultural yang menghormati perbedaan dalam orientasi
budaya dikalangan etnik yang ada. Sejak itu konsep multicultural di Indonesia
mengalami proses sosialisasi dalam masyarakat di Indonesia.
Masyarakat multikultural menurut Furnivall yaitu suatu
masyarakat yang terdiri dari dua tau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri
tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik. Sementara
Clifford Geertz menyatakan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat
yang terbagi-bagi dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri dan
masing-masing sub system terkain oleh ikatan-ikatan primordial. Sedangkan
nasikun mengungkapkan bahwa masyarakat multicultural merupakan masyarakat
bersifat najemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur memiliki sub-sub
kebudayaan yang bersifat diverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya system
nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga system nilai
dari satu kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.
Masyarakat Indonesia pada masa penjajahan
Belanda di sebut dengan masyarakat yang majemuk, tapi dengan adanya hal
tersebut banyak terjadi konflik antar ras, suku etnis dan juga agama. Hal itu
dikarenakan adanya primordialisme yang sangat kental di dalam setiap elemen
masyarakat. Semangat untk kebersamaan dalam perbedaan sangat rendah bahkan bisa
dibilang tidak ada pada sat itu. Namun keadaan itu berubah setelah orde baru
yaitu masyarakat Indonesia menjadi masyarakat multicultural yang beranggapan
bahwa berbagai budaya, suku, ras, dan kelas sosial yang berbeda memiliki
kedudukan yang sederajad. Adapun ciri-ciri masyarakat multicultural yaitu
semangat untuk bersama dala perbedaan
tinggi, menerima orang lain yang memiliki ciri sosial yang berbeda dan memiliki
toleransi yang kuay terhadap perbedaan perbedaan dan kesederajatan. Selain itu
ketika masyarakatnya multicultural maka akan meminimalisir terjadinya konflik
baik antar suku, budaya, ras, agama dan kelas sosial yang ada di negara
Indonesia.
Daftar Pustaka
Wasino, W. (2013). INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM. Paramita: Historical Studies Journal, 23(2).
No comments:
Post a Comment