Saturday 5 December 2015

PERBANDINGAN SISTEM SOSIAL BUDAYA DI INDONESIA


PERBANDINGAN SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA | PERBANDINGAN SISTEM BUDAYA INDONESIA PADA JAMAN PENJAJAHAN BELANDA



Perbandingan sistem sosial budaya di indonesia . Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam budaya, adat istiadat, suku, ras, agama atau kepercayaan, etnis, dan juga bahasa. Pada saat zaman penjajahan Belanda di Indonesia, keberagaman dalam berbagai hal tersebut sering disebut bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Masyarakat Indonesia memiliki struktur, struktur tersebut ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horisontal ditandai oleh kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku, agama daerah, adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan daerah merupakan ciri dari masyarakat Indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk.
Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama. Hal semacam ini menimbulkan berbagai macam hal yang nantinya akan mempengaruhi rasa nasionalisme dari masing-masing elemen masyarakatnya dan dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam menemukan pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand). Apabila dalam kebutuhan ekonominya saja tidak ada kehendak bersama maka bisa diprediksi bahwa nantinya kehidupan ekonomi di negara Indonesia akan semakin melemah ketika tidak adanya kebijakan yang mengatur masalah ekonomi tersebut.
 Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata semua kebutuhan kultural yang memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand sebagai keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melainkan bersifat seksional (sectional) dan tidak dihayati bersama elemen masyarakat. Sehingga permintaan yang terus menerus seperti itu lama kelamaan akan mengakibatkan keadaan ekonomi yang tidak seimbang antara jumlah barang yang di inginkan dengan jumlah barang yang tersedia.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat mejadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah jauh berbeda dari keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat majemuk sebagaimana digambarkan oleh furnivall harus tidak dapat begitu saja diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang yang jauh lebih menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Furnivall menyatakan bahwa suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya sehingga para angota masyarakat kurang memiliki loyalitas atau kesetiaan terhadap masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang memiliki homogenitas atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain antar elemen masyarakat.
Clifford Geertz, menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan yang bersifat primordial. Yaitu menganggap bahwa suku, agama, adat mereka merupakan yang memiliki kasta paling tinggi dan diagung-agungkan di bandingkan dengan suku, adat dan agama elemen masyarakat lain.

Piere L,van den Berge menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk :

a.       Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer
c.       Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
d.      Secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
e.       Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coection) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f.       Adanya dominasi pilitik oleh semua kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Oleh karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakandengan masyarakat yang terdiferensiasi atau spesialisasi. Maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk pada jaman penjajahan Belanda.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pluralitas masyarakat indonesia :
a.       Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia dengan berbagai pulau.
b.      Indonesia terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik.
c.       Perbedaan iklim dan struktur tanah di kepulauan Nusantara.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional merupakan dimensi-dimensi horisontal dari struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Karena sesungguhnya masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terpisah – pisah berdasarkan kelas sosial, suku, agama, ras dan antar golongan.
Prof Wasino menyatakan bahwa Pada jaman setelah kemerdekaan Indonesia masyarakat majemuk masih terus berlangsung. Berakhirnya orde baru telah membuka kotak Pandora buruknya hubungan antar etnik dan antar agama. Akibatnya banyak terjadi konflik-konflik yang berdasarkan perbedaan etnik dan agama. Hal itu semakin meruncing ketika kepentingan-kepentingan politik masuk. Proses reformasi politik melahirkan kesadaran baru tentang hubungan antar etnik dan agama. Titik awal perubahan ini ketika presiden Abdurahman Wahid membuka sekat-sekat hubungan multikultural yang menghormati perbedaan dalam orientasi budaya dikalangan etnik yang ada. Sejak itu konsep multicultural di Indonesia mengalami proses sosialisasi dalam masyarakat di Indonesia.
Masyarakat multikultural menurut Furnivall yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua tau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik. Sementara Clifford Geertz menyatakan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terbagi-bagi dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub system terkain oleh ikatan-ikatan primordial. Sedangkan nasikun mengungkapkan bahwa masyarakat multicultural merupakan masyarakat bersifat najemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya system nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga system nilai dari satu kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.

Masyarakat Indonesia pada masa penjajahan Belanda di sebut dengan masyarakat yang majemuk, tapi dengan adanya hal tersebut banyak terjadi konflik antar ras, suku etnis dan juga agama. Hal itu dikarenakan adanya primordialisme yang sangat kental di dalam setiap elemen masyarakat. Semangat untk kebersamaan dalam perbedaan sangat rendah bahkan bisa dibilang tidak ada pada sat itu. Namun keadaan itu berubah setelah orde baru yaitu masyarakat Indonesia menjadi masyarakat multicultural yang beranggapan bahwa berbagai budaya, suku, ras, dan kelas sosial yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajad. Adapun ciri-ciri masyarakat multicultural yaitu semangat untuk bersama dala  perbedaan tinggi, menerima orang lain yang memiliki ciri sosial yang berbeda dan memiliki toleransi yang kuay terhadap perbedaan perbedaan dan kesederajatan. Selain itu ketika masyarakatnya multicultural maka akan meminimalisir terjadinya konflik baik antar suku, budaya, ras, agama dan kelas sosial yang ada di negara Indonesia.

 Daftar Pustaka

Nasikun. 2014 . Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers
Wasino, W. (2013). INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM. Paramita: Historical Studies Journal, 23(2).

No comments:

Post a Comment